Oleh : K.H. Abdurrahman, SE (Pendiri dan Pembina Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya)
Berjuang, dalam pandangan Kiyai Abdurahman, SE, adalah sebuah perjalanan seni dan kreasi tingkat tinggi. Lebih dari sekadar rutinitas monoton, berjuang dipandang sebagai eksplorasi yang penuh keindahan dan inovasi. Pemahaman ini tumbuh dari keyakinan bahwa berjuang dengan kreativitas dapat memelihara semangat dan menghindarkan rasa bosan. Sebagai manusia, kita berjuang untuk membentuk kekuatan, yang mana kekuatan itu sendiri berfungsi sebagai tameng melawan tipu daya iblis dan keturunannya.
Menjadi bagian dari lembaga Hidayatullah bukanlah sekadar kebetulan, melainkan sebuah panggilan dari Allah SWT untuk menjawab panggilan-Nya. Panggilan ini bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan diri, melainkan untuk merespons panggilan Allah SWT secara eksklusif. Model pembinaan di pesantren Hidayatullah melalui halaqoh, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW di Darul Arqom, menjadi pondasi bagi pembentukan generasi bertauhid, sebuah generasi yang terbebas dari pemikiran sekuler. Tujuannya adalah untuk melahirkan manusia dengan hati yang bersih dan ikhlas.
Di dalam perjalanan hidup ini, manusia berada dalam pertarungan antara dua panggilan yang kontradiktif: panggilan Allah SWT dan panggilan iblis serta syetan. Meskipun kekuatan dasar kita telah tercermin dalam dua syahadat, kenyataannya pemimpin di Indonesia belum sepenuhnya mampu mengatur negara dengan berlandaskan panggilan Allah SWT.
Faktor kegagalan tersebut antara lain disebabkan oleh minimnya proses pendidikan ideologis tauhid secara menyeluruh di lembaga-lembaga yang ada. Hidayatullah hadir sebagai misi yang bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut. Misi ini melibatkan seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan, ilmu, keterampilan, sikap, hingga perilaku, dengan tujuan akhir membawa segala aspek ke dalam cakupan La Ilaha Illalloh.
Membangun manusia atau Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi titik fokus utama. Gerakan tarbiyah dan dakwah yang massif, terstruktur, massif, dan sistematis diharapkan mampu memenuhi kebutuhan logis dan logistik, dengan keyakinan bahwa Allah SWT adalah jaminan keberhasilannya.
Generasi robbani, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir at Thobari, adalah generasi yang memiliki karakteristik khusus. Mereka adalah alim mutsaqqif (berilmu yang benar), faqieh (ahli fiqih), al basiroh bissiyasah (pandai dalam urusan pemerintahan), al basiroh bittadbir (bijaksana dalam pengelolaan), dan al qiyamu bisy syuuni roiyah limaslahatihim fiddaroini (aktif dalam urusan kepentingan umum untuk kemaslahatan dunia akhirat).
Dengan demikian, berjuang dengan seni dan kreativitas tingkat tinggi bukan hanya sebuah tuntutan, melainkan kunci pembentukan generasi robbani yang tangguh dan berdaya saing. Dalam menghadapi panggilan Allah SWT dan melawan tipu daya iblis, setiap langkah berjuang harus menjadi karya seni yang indah, mencerminkan keagungan dari keimanan dan ketaqwaan. Dengan begitu, generasi ini akan menjadi pewaris nilai-nilai tauhid yang membimbing mereka di tengah dinamika dunia modern. Wallohu A'lamu. Red.
Comments
Post a Comment