Dalam kamus lisanul Arab yang dikarang oleh Ibnu Manzur, Asy Syibawaih menjelaskan bahwa akal artinya terikat, terjaga, dan terbatas. "Uqila lahu Syai’un" artinya iya dijaga, iya diikat, atau iya dibatasi oleh sesuatu. Ibnu Bari mengartikan akal sebagai sesuatu yang memberikan kesabaran dan nasihat bagi orang yang memerlukan. Akal memiliki karakteristik bahwa:
- 1. Pemilik akal mampu mengekang hawa nafsunya dan menolak rayuannya untuk masuk pada kebinasaan, menjaga dari terjerumus ke kehancuran.
- 2. Akal membedakan manusia dari seluruh hewan.
Dalam agama Islam, akal tidak semata-mata berkaitan dengan aspek nalar, hafalan, dan semisalnya. Tetapi, mencakup keterkaitannya dengan moral. Keterkaitan antara akal dan moral dapat diketahui dalam hadits Nabi yang diriwayatkan dari Sahabat Abu Darda’ radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Wahai Uwaimir, tambahilah akalmu niscaya kau akan bertambah dekat dengan Tuhanmu!" Lalu Abu Darda bertanya, "Bagaimana cara menambah akal?" Beliau bersabda, "Jauhilah hal-hal yang diharamkan Allah dan kerjakanlah perintah-perintah-Nya, kemudian tambahilah dengan amalan-amalan soleh lainnya, maka derajat dan kemuliaanmu bertambah di dunia dan bertambah pula kedekatan dan kemuliaanmu di sisi Tuhan."
Dengan akal, kita bisa membuat dekat kepada Tuhan. Akal di sini adalah ilmu, satu peranti yang disiapkan oleh Allah SWT untuk menambah ilmu. Sumbernya supaya orang itu akalnya hidup menjadi berilmu adalah dengan mendengar dan melihat, sebagaimana Surah Al-Insan menjelaskan satu masa di mana manusia belum disebut manusia. Allah SWT menciptakan manusia dari nutfah/sperma yang terpancar, memberikan ujian, dan perangkat untuk mendengar serta melihat. Setelah itu, Allah menunjukkan jalan, dan baru di situ bisa jadi bersyukur atau kufur. Syukur dan kufur adalah perilaku dari manusia yang Allah ciptakan sebagai dampak dari akal yang berfungsi. Ternyata akal berfungsi dengan baik melalui proses melihat dan mendengar, di mana mendengar diwakili oleh kegiatan mengumpulkan data melalui metode wawancara, dan melihat dalam proses pengumpulan data dengan observasi.
Dalam metodologi penelitian, proses melihat dan mendengar memunculkan akal kita aktif, sehingga dengan akal, kita bisa bersyukur. Konsep akal adalah bahwa akal akan menghidupkan hati. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa akal ada di hati. Hidupnya hati dan matinya melalui akal yang berfungsi. Akal yang berfungsi akan menciptakan proses tafakur ketika melihat ayat-ayat Allah di alam semesta, dan tadabbur, dzikir, dan fikir ketika melihat ayat-ayat yang dijelaskan. Dalam Islam, akal tidak hanya berkaitan dengan nalar, tetapi juga dengan moral. Seseorang bisa bernalar, menunjukkan bahwa dia memiliki modal, yaitu akalnya aktif. Tapi akal memiliki keterkaitan dengan moral dan tambah dekat dengan Allah, dzat yang memberikan akal pikiran kepada kita.
Orang yang menggunakan akalnya secara aktif disebut orang cerdas. Orang cerdas tidak hanya berkaitan dengan penalaran akademis, tetapi diintegrasikan juga dengan ketaatan manusia kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menyatakan bahwa orang pintar dan cerdas adalah orang yang mengevaluasi diri, merendahkan nafsunya, menghitung dirinya, dan beramal untuk masa setelah kematian. Orang cerdas selalu memandang ke masa depan, bukan hanya kekinian. Sedangkan orang lemah adalah yang mengikuti nafsu dan berangan-angan kebaikan kepada Allah. Orang cerdas dikaitkan dengan ketaatan manusia kepada Penciptanya.
Islam memandang akal sebagai entitas yang tidak berdiri sendiri, sebaik-baik akal adalah pengenalan, pemahaman, dan pengetahuan orang yang berakal terhadap dirinya sendiri. Ini selaras dengan ungkapan Al-Ghazali bahwa siapa yang mengenal tuhannya, maka dia mengenal dirinya. Ini nyambung dengan akli maarif waktulah kili bi nafsi. Para ulama juga menyatakan bahwa rasul akli menjadi sifat orang berakal. Sifat orang berakal antara lain berlemah lembut dalam bergaul dengan manusia, efisien dan inisiatif dalam pengeluaran hidup, serta saling mencintai sesama manusia. Orang yang berakal tidak memiliki rasa benci kepada sesama manusia karena memahami bahwa manusia butuh dicintai. Para ulama juga membedakan antara ruh dan nafsu, di mana jiwa hidupnya dengan dzikri dan pikir, sedangkan ruh hidupnya dengan akal.
Islam juga mengajarkan bahwa akal tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan ilmu. Akal hidup dengan ilmu, dan keduanya saling berkaitan dan terpaut. Kita dapat menangkap ilmu dengan mendengar dan melihat, dua instrumen yang sudah Allah berikan. Akal dan ilmu tidak dapat dipisahkan, dan keduanya bekerja bersama untuk mendapatkan pengetahuan. Orang yang memiliki akal yang aktif dan berfungsi adalah orang yang mengamati, menganalisa, dan menyimpulkan dengan benar, bukan meninggalkan pendapat hanya karena tidak mendengar atau mengabaikan ilmu.
Dengan demikian, penjelasan para ulama mengenai akal dan keterkaitannya dengan ilmu, moral, dan ketaatan kepada Allah memberikan gambaran bahwa akal bukan hanya sekadar kemampuan nalar, tetapi juga sebuah anugerah yang harus diaktifkan
Comments
Post a Comment